Sosial bar 1

Mengenang Alm. Dr.H.Zulkarnaen Maidin Lc.M.A Sang Guru Senior Pesantren Pondok Madinah Makassar

 

Alm.Dr.H.Zulkanaen Maidin Lc.Ma (Guru Senior  Pesantren Pondok Madinah Mks)

Dari  Sepak Bola  Mengajak Rajin ke Masjid. (Kenangan Seorang Santri Kepada Ustaznya)


 Makassar (25/1) Tribunmura.blogspot.com Ustaz Zul, begitu kami memanggilnya.  Ustaz kami itu bernama lengkap Ustaz Zulkarnaen Maidin. Jebolan Pesantren IMMIM. Beliau cakap berbahasa Arab dan Inggris, tetapi angkatan kami di Pesantren Pondok Madinah saat itu tidak pernah diajari secara langsung dua bahasa itu. Ustaz Zul justru mengampuh mata pelajaran olahraga. Tetapi justru melalui olahraga itulah beliau juga mengajarkan kami  bercakap Arab. Instruksinya dalam kegiatan olahraga selalu dalam bahasa Arab, kadang Bahasa Inggris. 


Mata pelajarannya termasuk yang kami senangi, terutama praktik sepak bola dan justru  sepak bola itulah yang paling sering kami lakukan. Jika jam pelajaran olahraga tiba, dengan riang dan riuh kami segera berlari keluar kelas, minta kepada beliau untuk ke lapangan bermain bola. Pak Zul guru yang sabar. Jarang menghukum, intonasi suaranya rendah. Tetapi bukan berarti tidak disiplin. Ia bisa juga memberi sanksi tegas pada santri yang kelewatan nakalnya.  Bahkan menurut keterangan santri senior, Ustaz Zul bisa sangat tegas, terutama saat ia jadi pembina asrama.

Mata pelajaran olahraga saat itu berimpitan dengan pelajaran nahwu saraf yang diampuh oleh ustaz kami yang paling ditakuti, KH Bakri Kadir. Kalau jadwal Ustaz Zul , setelah pelajaran Nahwu, maka rasanya berolahraga, terutama bermain bola, adalah cara mengendurkan urat syaraf, setelah dua jam lebih digodok habis habisan oleh Kiai Bakri. Seperti mengerti kalau kami baru saja berjibaku dengan penuh ketegangan , olahraga tidak pernah atau jarang sekali diberikan Ustaz Zul dalam bentuk teori di kelas. Kami langsung ke lapangan. Melepaskan ketegangan dan untuk sejenak mengekspresikan berbagai kebebasan. Ustaz Zul hanya tersenyum melihat tingkah kami. Ia tidak marah selama tingkah masih dalam batas senonoh. Bermain bola  rasanya paling tepat menyalurkan segala ketegangan. Dengan meliuk liuk di lapangn diselingi aba-aba Ustaz Zul dalam Bahasa Arab, adrenalin kami lepas bebaskan.



Pimpinan Pesantren Pondok Madinah KH.Sabirin Sukkara Lc.M.A bersama Kepala Kampus H.Herman Kuru Lc. Saat Melayat Di Kediaman Alm.


Di masa ustaz Zul,  sepak bola menjadi favorit kami. Di kelasku bahkan membuat klub klub bola, ada Tiger Selection ada Ball Hunter (maksudnya ini ball chaser, cuma karena keseringan nonton film hunter, jadilah namanya diambil). Ustaz Zul pula yang mengajak pesantren kami ikut kompetisi Golkar Cup, kompetisi sepak bola bagi anak anak.  Kami bertarung dengan anak anak yang terlatih bermain bola di club atau di sekolah sekolah sepak bola. Di antara lawan lawan kami kelak banyak yang jadi pemain profesional. Tapi di bawah instruksi yang selalu berbahasa arab dan semangat yang ditanamkan ustaz Zul, kami bertarung penuh semangat, meskipun sering kali kalah😃 .


Melalui sepak bola, Ustaz Zul segera menjadi salah satu guru favorit kami. Hingga tibalah suatu masa, mungkin saat kami kelas tiga SMP atau kelas satu SMA, Ustaz Zul muncul berbeda. Wajahnya yg memang terlihat tenang semakin mengesankan keteduhan. Dagu beliau mulai ditumbuhi janggut yang jarang. Begitu masuk kelas, Ustaz Zul tidak menginstruksikan kami ke lapangan. Padahal saat itu kami sudah bersiap menghambur keluar. Tidak juga beliau memberikan teori olahraga. Dengan suara pelan ia mulai bertanya bagaimana salat kami? Apakah selalu berjamaah? Pertanyaan yang terasa agak janggal, karena kami yakin beliau pasti tahu kami selalu berjamaah di Masjid Pesantren. Yang tidak berjamaah pasti kena sanksi. Tetapi ternyata semakin lama ia bicara, semakin kami sadari ia tengah mengetuk kesadaran kami agar ke masjid menjadi habitus; kebiasaan, kesenangan dan kecintaan. Suaranya naik turun, kadang lirih. Ustaz Zul seakan akan sedang berceramah di depan jemaah. Puncaknya Ustaz Zul menangis menyampaikan nasihatnya. Kami terhanyut. Hati kami rasanya diselimuti keharuan. 


Hari hari selanjutnya, tidak pernah lagi kami bermain bola. Setiap Ustaz Zul datang,  beliau lebih banyak memberi nasehat, bertabligh. Karena yang beliau sampaikan hal bagus, kami senyap mendengarkan, meski diam diam hati kami rindu bermain bola. Entah karena tidak tahan satu dua orang di antara kami nyeletuk, kapan bermain bola Ustaz?  

Tidak ada di antara kami yang mempermasalahkan sikap Ustaz Zul yang berubah, bahkan ketika kami tahu bahwa beliau sejatinya telah bergabung dengan Jamaah Tabligh dan yang dilakukan kepada kami sedang menjalankan tabligh, suatu misi mengajak orang beribadah dan menjalankan kebaikan. Guru guru kami yang lain yang rata rata berkhidmat di NU juga tidak ada yang mempersoalkan. Toh Ustaz Zul hanya menempuh jalan spiritual yang berbeda, tujuannya juga kebaikan.


Ustaz Zul tak pernah lagi bergeser dari jalan tabligh yang ditempuhnya. Saya beberapa kali bertemu dan seperti biasa ia selalu menyapa dalam bahasa Arab. Kadang kadang saya agak terbata bata meresponnya, kosa kata Arab saya sepertinya mulai runtuh satu satu, sudah banyak lupanya. Seperti biasa suara Ustaz Zul tetap rendah, tuturnya lembut, tetapi sangat terasa gairahnya dalam bertabligh.

Dalam jalan tabligh yang ditempuhnya, Ustaz Zul sampai pada batas usianya. Belum lama ini Ia kembali keharibaan Rabbnya. Semoga jalan tabligh itu mempertemukan dengan Sang Pemilik Masjid, tempat yang selama ini oleh Ustaz Zul berusaha dicintai dan mengajak orang mencintainya.

Selamat Tinggal Sang Maha Guru Jasa jasamu Takkan pernah Kami Lupakan Sampai Anak Cucu Kami 


Laporan :  Sukri ( Daenk) Angk.14 Pesantren Pondok Madinah Makassar